Perkembangan Jurnalisme
Sejarah
Sejarah menuturkan bahwa jurnalisme ialah alat penyuplai kebutuhan orang berkomunikasi. Komunikasi, sebagai alat penting bagi manusia, merupakan jalan bagi manusia bertukar informasi. Sejak masa prahistoris, komunikasi dilakukan melalui aneka cara: segala jenis informasi disebar melalui para dukun, peramal, orang bijak, dan sebagainya. Semuanya, menurut Aleksander Rozhkov (2001, Disertasi), seorang dosen sejarah Jurnalisme, dapat dilihat melalui lukisan batu, perkamen, atau bangunan.
Dengan begitu, komunikasi banyak berubah bentuk. Dari sejak awal kehidupan bermasyarakat, manusia mempergunakan berbagai medium untuk berkomunikasi.
Orang-orang kemudian memindahkan bahasa, sebagai alat mengantarkan pikiran dan perasaan itu, ke dalam catatan-catatan yang bersifat kronikal, riwayat, biografis, sejarah, perjalanan, dan berbagai bentuk surat-menyurat – dari yang bersifat pribadi sampai pesan-pesan kerja, dari yang menyajikan khotbah (nasihat) sampai kerjaan-omong kosong, mereka-ulang cerita, dan selebaran-selebaran.
Semua itu bisa ditemukan, misalnya, di fase-fase religiusitas menguasai masyarakat. Para ahli sejarah kerap memaparkan dokumen-dokumen catatan kronikal peristiwa, riwayat para penyebar keagamaan, atau kisah-kisah ketokohan seseorang. Di fase perdagangan mulai digerakan para raja, di wilayah-wilayah kerajaan yang menggunakan uang (sebagai pengganti barter), selebaran–selebaran (newsletter) dibuat untuk menginformasikan barang-barang, kedatangan kapal-kapal dagang yang berlabuh, dan harga-harga yang ditawarkan.
Sampai kemudian ketika jurnalisme ditemukan: sebagai sebuah kegiatan melaporkan berbagai kejadian/peristiwa yang terjadi di masyarakat. Namun, kemudian, dipakai sebagai alat penyalur tekanan sosial-politik. Dan, perkembangannya terkait dengan ditemukannya mesin cetak sebagai wahana yang mengganti oral, dari mulut ke mulut, ketika menyampaikan informasi (kisah-kisah kronikal, pelaporan, ataupun pamflet). Bentuk cetakan, khususnya suratkabar, merupakan awal dunia jurnalisme mengabarkan berbagai kejadian masyarakat.
Produk pertama jurnalistik, dalam bentuk newsheet, yang bersikulasi di Roma, dinamakan Acta Diurna. Harian yang terbit pada abad ke 5 Sebelum Masehi, yang digantungkan di alun-alun kota, ini merekam segala kejadian sosial dan politik.
Pada Abad Pertengahan, jurnalisme mengenali bentukan pengiriman laporan, tinjauan, perkabaran, dan lain-lain, yang diedarkan berbagai institusi untuk tujuan yang bersifat informatif. Fase ini dikenal sebagai masa peredaran sirkulasi flying papers. Ditemukannya proses cetak, yang mendorong mobilitas lebih jauh peredaran dan pengiriman informasi, oleh I.Guttenberg pada 1440, telah menancapkan pengembangan media cetak (pers) dan, tentu saja, jurnalisme. Eropa Barat, sebagai tanah kelahiran institusi sosial “mesin pers”, bisa dinilai sebagai wilayah awal pertumbuhan jurnalisme. Belgia, misalnya, menjadi tempat Niewe Tydingen (yang berarti "All news", atau kumpulan berita), suratkabar pertama diterbitkan melalui perusahaan cetak Vramma Vergevena, di Antwerp pada 1605.
Di berbagai tempat lain, dalam catatan ensiklopedi BRITANNICA (2000), terdapat pula. Di Jerman, kota-kotanya memunculkan berbagai terbitan cetak regular. Di Inggris, terbitan cetak pertamanya adalah Weekly Newes, pada 1622. Salah satu terbitan awal surat kabar hariannya ialah the Daily Courant, pada 11 Maret 1702.
Catatan sejarah juga menyebutkan embrio media jurnalistik cetak di kawasan Asia. Di Cina, pada sepanjang dinasti T’ang, di lingkungan istana, ada beredar media bernama pao, yang berarti “report” (laporan), yang melaporkan berbagai informasi di seputar pejabat pemerintahan. Sementara Rozhkov mencatat bahwa suratkabar yang terbit di lingkungan istana itu bernama Dibao, pada Abad VIII. Bentuk suratkabar muncul dan hilang, dengan berbagai nama dan bentuk, pada akhir dinasti Ch’ing, 1911. Selain Cina, di Jepang pun muncul. Dari lempengan tanah lempung, ditemukan nama Iomiori Kavaraban ("to read and to hand"). Semua itu, menurut Rozhkov, bisa dikatakan sebagai fenomena para-newspaper.
Pemunculan koran-koran cetak itu bukan tanpa halangan, atau tekanan. Sensor, pembatasan pemberitaan, dan beban pajak, adalah diantara beban yang diterakan kepada pengelolaan media. Namun, di tengah keadaan seperti itu, pada abad 18, berbagai terbitan jurnalisme awal tetap bermunculan. Misi yang diembannya ialah kebebasan berpendapat dan menyalurkan kebutuhan masyarakat. Awalnya, didesak oleh kebutuhan melek huruf masyarakat, namun sejalan dengan perkembangan mesin dan elektrik, sirkulasi harian koran meningkat dari jumlah ribuan dan ratusan ribu sampai jutaan eksemplar.
Bentuk majalah, terbit sejak abad 17, melalui bentuk-bentuk jurnal. Dimulai dengan berisi artikel-artikel opini yang mengomentari pelbagai kejadian aktual. Tatler (1709-11) dan Spectator (1711-12) adalah contoh awalnya. Tahun 1830-an, sirkulasinya melebar dan menyentuh khalayak berpendidikan, melalui majalah-majalah ilustratif dan wanita.
Pendanaan yang besar untuk pengumpulan berita diawali melalui format kantor berita, sebuah organisasi yang menampuk liputan-liputan jurnalistik internasional dan menjualnya kepada berbagai koran dan majalah. Pemunculan radio dan televisi, pada abad 20, telah meluaskan segala komunikasi cetak dan elektronik ke dalam produk jurnalistik. Penemuan telegraf dan kemudian radio dan televisi menyempurnakan kecepatan dan ketepatan aktifitas jurnalistik. Pada waktu yang bersamaan, khalayak mendapat saluran dan distribusi muatan berita yang masif. Satelit abad 20 telah membuat pengiriman informasi jurnalistik memiliki jarak tempuh yang lebih panjang.
Dan kini kita mengenali kegiatan jurnalistik mengumpulkan, menyiapkan, dan mengedarkan berbagai berita atau opini melalui pamflet, newsleter, koran, majalah, radio, filem, televisi, internet, dan buku.
Walaupun esensi jurnalisme itu ialah berita, namun dalam perkembangannya telah mendapatkan banyak pemaknaan. Istilah “hard news” tidak lagi mengartikan “news value” yang amat penting. Ia telah jadi marginal. Ini sebagian besar merupakan konsekwensi dari kedatangan pemberitaan radio dan televisi, yang membawa buletin berita kepada orang banyak dengan kecepatan yang tak dapat ditandingi oleh media pers. Untuk menjaga khalayaknya, surat kabar telah meningkatkan jumlah penyajian interpretive material – berbagai artikel yang melatarbelakangi sebuah pemberitaan, ulasan-ulasan pendek, dan kolumnis yang dengan ketepatan dan kepiawaiannya mengomentari. Pada pertengahan 1960, banyak suratkabar, terutama yang terbit sore dan edisi Minggu, telah memakai teknik penyajian majalah, terkecuali untuk isi “hard news” dengan keketatan aturan obyektifitas-ketradisionalannya. Majalah-majalah berita telah membuat pemberitaan mereka berdarah-darah dengan komentar-komentar editorial.
Jurnalisme memang punya keliaran dinamika dalam perkembangannya. Dekade post-PD II diantaranya menggambarkan pergulatan jurnalisme dengan pelbagai laporan dan analisa kampanye pemilihan, skandal-skandal politik, hubungan- hubungan gelap, dan temuan “New Journalism” melalui penulis seperti Truman Capote, Tom Wolfe, dan Norman Mailer.
Abad 20 telah mengisahkan bagaimana penolakan jurnalisme terhadap pembatasan yang dilakukan pemerintah. Di negara-negara berpemerintahan Komunis, pers dimiliki oleh negara, para wartawan dan pemimpin redaksinya menjadi pegawai pemerintah. Di bawah sistem pers mereka, fungsi utama pers ialah melaporkan pemberitaan bercampur tugas mengangkat dan mendukung ideologi nasional serta tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Media jadi pemapar prestasi pemerintahan Komunis, dan meniadakan pelaporan yang memburukkan kekuasaan. Berbagai sensor terhadap kerja jurnalisme menjadi bagian dari kehidupan di negara-negara Komunis.
Di negara-negara berkembang (developing nations) yang non-komunis, pers menikmati derajat kebebasan yang bermacam ragam, dari yang bersifat mesti mau melakukan self-censorhip (menyensor sendiri) apa-apa yang sekira bakal dilarang pemerintah, sampai yang benar-benar disensor langsung seperti di negara-negara Komunis. Kebebasan pers benar-benar dinikmati benar untuk media yang hidup di negara-negara yang berbahasa laporan most English-speaking dan negara-negara Eropa barat.
Elemen Jurnalisme Masa Kini
Good journalism, kata Leonard Downie JR. dan Robert G.Kaiser dalam The News About The News (2002), ialah kegiatan dan produk jurnalistik yang dapat mengajak kebersamaan masyarakat di saat krisis. Pelbagai informasi dan gambaran krisis, yang terjadi dan disampaikan, mesti menjadi pengalaman bersama. Ketika sebuah kejadian yang merugikan masyarakat terjadi, sebuah media memberi sesuatu yang dapat dipegang oleh masyarakat. Sesuatu itu ialah fakta-fakta, juga penjelasan dan ruang diskusi, yang menolong banyak orang terhadap sesuatu yang tak terduga kejadiannya.
Masyarakat diajak agresif pada sesuatu yang penting terjadi. Dari soal pendidikan, jalanan berlubang, perumahan kebanjiran, pelayanan pemerintah dan keadilan, dan lain-lain, masyarakat diajak paham dan terlibat. Pemberitaan ketidakbecusan dan korupsi di pemerintah dan parlemen dapat mengubah kebijakan yang semula merugikan rakyat, menyelamatkan uang para pembayar pajak dan APBD, serta mengakhiri kebejatan para pelayan dan wakil rakyat. Pemberitaan praktik bisnis kotor menyelamatkan uang konsumen dan keamanan rakyat. Pemberitaan lingkungan, kesehatan, makanan, dan produk-produk yang berbahaya menyelamatkan kehidupan rakyat. Peliputan soal kemiskinan, gelandangan, ketidakadilan, penderitaan, dan seterusnya, memberi "suara" pada pihak yang tak bisa "bersuara".
Bad journalism ialah media yang kurang cakap melaporkan pemberitaan yang penting diketahui masyarakat. Media yang memberitakan suatu peristiwa secara dangkal, sembrono, dan tidak lengkap, sering disebut tidak akurat dan tidak cover both sides. Ini berbahaya bagi masyarakat karena ketidaklengkapan informasi yang didapatnya. Ketidakcakapan pemberitaan manipulasi dan korupsi perbankan telah mengakibatkan pingsannya industri serta dirugikannya para depositor dan pembayar pajak dalam hitungan ratusan miliar rupiah.
Semua dikarenakan kemalasan meliput dan kedangkalan pelaporan. Kerja media cuma mengisi kolom demi kolom dengan hal-hal yang "halus dan sepele", enggan berurusan dengan hal-hal "penting dan penuh pertempuran", lebih banyak menimba fakta-fakta yang sudah "siap edar" dari nara sumber yang sudah rutin dan formal dan "siap wawancara". Lalu, bersama-sama kameraman teve, membuat dramatisasi penangkapan yang penuh dengan teriakan dan letusan senjata. Atau, ke sana-kemari di ruang pengadilan, mencari peristiwa yang sudah siap dinilaiberitakan.
Semua itu, menurut Downie J.R. dan Kaiser, "bukanlah hal yang baru, atau faktual, atau interesting, atau penting untuk diberi label news".
Dari sinilah, terjadi bias. Berita yang diterima masyarakat kerap disensor secara invisible. Entah itu terkait dengan ketidakcakapan wartawan, entah dengan visi redaksi, entah pula dengan kesejahteraan dan keselamatan bisnis media.
Meski berbagai asumsi itu tidak sahih benar, setidaknya masih melogikakan cacatnya pemberitaan. Buruknya pemberitaan media menyebabkan ketidaktahuan masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan kerugian.
Kerugian itu harus dihindari.
Bill Kovach & Tom Rosenstiel, dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001) merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Berbagai elemen ini merupakan dasar jurnalisme agar bisa dipercaya masyarakat. “The purpose of journalisme,” nilai Kovach dan Rosenstiel (hlm.17-19), “is to provide people with the information they need to be free and self-governing”. Kebajikan utama jurnalisme ialah menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat hinggar mereka leluasa dan mampu mengatur dirinya. Jurnalisme membantu masyarakat mengenali komunitasnya. Jurnalisme, dari realitas yang dilaporkannya, menciptakan bahasa bersama dan pengetahuan bersama. Lewat jurnalisme, masyarakat mengenai harapannya, siapa yang menjadi pahlawan dan siapa penjahatnya. Media jurnalisme menjadi wacthdog, anjing penjaga, berbagai peristiwa yang baik dan buruk, dan mengangkat aspirasi yang luput dari telinga orang banyak. Semua itu terjadi berdasar informasi yang sama. Informasi itu disampaikan jurnalisme kepada masyarakat.
Untuk itu, jurnalisme memiliki tugas:
1. Menyampaikan kebenaran
2. Memiliki loyalitas kepada masyarakat
3. Memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi
4. Memiliki kemandidiran terhadap apa yang diliputnya
5. Memiliki kemandidiran untuk memantau kekuasaan
6. Menyadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik
7. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik
8. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional
9. Meleluasakan wartawan untuk mengikuti nurani mereka
(Kovach dan Rosenstiel, hlm: 12-13)
Elemen jurnalisme yang pertama, menurut Kovach dan Rosenstiel (hlm.36-50) adalah kebenaran.
Cassandra Tate, pada 1984, menceritakan kebohongan media yang dilakukan wartawan New York World. Koran kuning milik Joseph Joseph Pulitzer, pada 1913, mendirikan Burreau of Accuracy and Fair Play, yang bertugas sebagai ombudsman di harian New York World. Tujuan: meyakinkan pembaca bahwa World layak dipercaya. Salah satu laporan ombudsman harian ini ialah menceritakan keanehan pola laporan berita tentang kapal karam: kisah-kisah feature-nya selalu memunculkan seekor kucing. Apa ada hubungan antara kucing dengan kapal karam? Si wartawan yang meliput berita tersebut menjelaskan.
Ketika sebuah kapal karam, wartawan itu menemukan kisah seekor kucing yang diselamatkan para awak kapal. Kisah kucing ini diceritakannya. Sementara, rekan-rekan wartawannya yang lain tak mengangkatnya. Akibatnya, mereka banyak disemprot oleh para redakturnya. Mereka dinilai gagal. Tatkala terjadi lagi peristiwa kapal karam, mereka pun menyisipkan seekor kucing di dalam kisahnya. Padahal, tidak ada kucing di kapal tersebut. Si wartawan Wordl tidak mau ikut-ikutan, ia tidak menyertakan kucing di dalam laporannya. Dan, kini, ia yang dicaci maki redakturnya. Maka itu, selanjutnya, bila ia dan kawan-kawan wartawannya menemukan kejadian kapal karam, mereka pasti menyantumkan kucing mengeong-ngeong di dalam laporan beritanya. Ini contoh jurnalisme yang tidak menyampaikan kebenaran.
Tapi, kebenaran yang dimaksud di sini ialah kebenaran fungsional. Bukanlah kebenaran yang banyak dicari orang-orang filsafat. Bukanlah kebenaran mutlak, apalagi kebenaran Tuhan. Kebenaran fungsional berarti kebenaran yang terus-menerus dicari. Kebenaran mengenai, misalnya, harga bahan-bahan pokok saat ini, nilai kurs mata uang, atau hasil pertandingan olah raga.
Jurnalisme melaporkan materi “kebenaran” apa yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakat pada saat ini. Berbekal kebenaran tersebut, masyarakat belajar dan berpikir mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Apakah besok akan hujan? Apa di sana ada kemacetan lalu lintas? Apa tim olah raga saya menang? Apa yang ditegaskan presiden? Dengan demikian, jurnalisme menyampaikan kebenaran tentang fakta-fakta yang ditemukannya saat itu. Fakta-fakta yang dilaporkan secara akurat dan jujur.
Tapi, apakah memadai, sekadar melaporkan nama dan tanggal secara akurat? Apakah cukup melaporkan walikota memuji-muji polisi di sebuah acara, sementara dalam faktanya, polisi terlibat dalam skandal korupsi. Pujian walikota berarti merupakan retorika politik terhadap kritikan masyarakat tentan kinerja polisi. Meski begitu, hal itu bukanlah bearti akurasi tidak penting. Akurasi tetaplah menjadi hal yang penting bagi jurnalisme, menjadi fondasi bagi pengembangan berita selanjutnya – yang terkait dengan: konteks, interpretasi, dan hipotesis, dan lainnya.
Kebenaran di sini bukanlah kebenaran yang bersifat religius, ideologis, atau pun filsafat. Juga, tidak menyangkut kebenaran berdasar pandangan seseorang. Sebab, pemberitaan seorang wartawan bisa memiliki bias. Latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agama, yang dianut wartawan mempengaruhi laporan berita yang dibuatnya. Wartawan berkemungkinan menafsirkan “kebenaran” sebuah fakta secara berbeda-beda satu-sama lainya.
Di hari pertama peristiwa kecelakaan dilaporkan, contoh Kovach dan Rosenstiel , wartawan menunjukan: waktu dan tempat, kondisi dan cuaca saat itu, jenis kendaraan, kerusakan, dan sebagainya. Hari selanjutnya, ialah laporan hasil verifikasi fakta: memaknakan peristiwa tersebut, melalui pelabagai fakta lain yang terkait dengannya. Ini berarti: kebenaran jurnalisme ialah upaya menyapih fakta-fakta dari kekeliruan informasi – entah disengaja atau tidak oleh pihak-pihak tertentu – atau dari kekosongan informasi. Wartawan mesti menyingkirkan fakta yang bersifat desas-desus, tidak penting, atau dimanipulir. Menekankan apa-apa yang penting, dan membuang informasi sampah.
Elemen kedua ialah loyalitas kepada masyarakat. Ini memaknakan keindependenan jurnalisme. Ini berarti membuat resensi filem yang jujur (bukan pesanan), mengulas liputan tempat rekreasi yang tidak dipengaruhi para pemasang iklan, atau membuat liputan yang tidak didasari kepentingan pribadi atau kepentingan relasi tertentu. Selain itu, pemberitaan disampaikan juga tidak dibayang-bayangi kepentingan bisnis dari pemilik media.
Misalnya, rencana bisnis media merancang target khalayak untuk kalangan sosial tertentu. Kalangan ini dinilai yang paling banyak mempengaruhi publik. Menargetkan berita seperti ini bisa dikatakan mengabaikan kelompok masyarakat lainnya, hanya untuk mengejar kelompok khalayak yang mengundang pemasang iklan potensial.
Para jurnalis tidak bekerja atas kepentingan pelanggan. Para jurnalis bekerja atas komitmen, keberanian, nilai yang diyakini, sikap, kewenangan, dan profesionalisme, yang telah diakui publik.
Elemen ketiga ialah disiplin dalam melakukan verifikasi. Ini berarti kegiatan menelusuri sekian saksi untuk sebuah peristiwa, mencari sekian banyak nara sumber, dan mengungkap sekian banyak komentar. Verifikasi juga berarti memilah jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, dan seni. Hiburan (dan infotainment) tertuju pada hal-hal yang menyenangkan semata. Propaganda mengerangka fakta (persuasi dan manipulasi) demi kepentingan tertentu. Fiksi memokus kesan personalitas pengarang. Jurnalisme ialah melaporkan segala apa yang terjadi setepat mungkin.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
• Jangan menambah atau mengarang apa pun;
• Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
• Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
• Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
• Bersikaplah rendah hati.
Elemen keempat: kemandirian terhadap apa yang diliputnya. Ini berarti tidak menjadi konsultan “diam-diam”, penulis pidato, atau mendapat uang dari pihak-pihak yang diliput. Arti lainnya lagi, menunjukan kredibilitas kepada berbagai pihak, melalui dedikasi terhadap akurasi, verifikasi, dan kepentingan publik. Atau, kemandirian melakukan kegiatan jurnalisme dengan ketaatan dan penghormatan yang tinggi pada prinsip kejujuran, kesetiaan pada rakyat, serta kewajiban memberi informasi dan bukan manipulasi. Bekerja atas dasar kesetiaan yang tinggi terhadap jurnalisme.
Dalam contoh tertentu, kemandirian ini bisa diartikan dengan sungguh-sungguh mengenali khalayak berita, benar-benar memberi perhatian kepada mereka secara merata: dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan, dari segala tingkatan ekonomi. Tidak membedakan agama (Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan lainnya). Tidak melihat ideologi (liberal, sosialis, marxis, dan sebagainya). Tidak melihat warna ras (kulit putih, keturunan Asia, Afrika, Hispanik, dan sebagainya). Tidak melihat pula jenis kelamin (laki atau perempuan), atau cacat-tidaknya seseorang. Sebab, kemandirian di sini menegaskan bahwa ia pertama-tama dikenali orang sebagai jurnalis. Bbukan orang Cina, orang Kristen, orang cacat, atau lainnya.
Elemen kelima adalah kemandirian untuk memantau kekuasaan. Elemen ini bukan berarti pekerjaan wartawan itu mengganggu orang yang tengah berbahagia, dengan berita-berita buruk. Bukan menunggangi keburukan masyarakat. Juga, bukan memerankan wacthdog dengan tujuan melaporkan sesuatu yang selalu sensasional daripada melayani masyarakat. Apalagi, mengatasnamakan wacthdog untuk kepentingan bisnis media.
Elemen ini terkait dengan kegiatan investigatif pers. Kegiatan media melaporkan berbagai pelanggaran, kasus, atau kejahatan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, baik pihak pemerintah atau pun lembaga-lembaga yang kuat di masyarakat. Laporan pers, dengan demikian, mencegah para pemimpin pemerintahan, politik, organisasi publik, dan lainnya, agar tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya dikerjakan. Media mengungkapkan tuntutan masyarakat akan perbaikan di berbagai bidang kehidupan dan berbagai tingkatan sosial, seperti: kekuasaan yang korup atau kolutif atau nepotis, penganiayaan buruh, kejahatan terorganisir di kota-kota, bisnis-bisnis kotor, dan sebagainya.
Elemen keenam ialah meletakan jurnalisme sebagai forum bagi kritik dan kesepakatan publik. Elemen ini merupakan upaya media menyediakan ruang kritik dan kompromi kepada publik. Ketika sebuah berita dilaporkan, media berarti mengingatkan masyarakat akan terjadinya sesuatu. Selain berita, media juga menyediakan ruang analisi untuk membahas peristiwa tersebut melalui konteks, perbandingan, atau perspektif tertentu. Ditambah pula, ruang opini dan editorial untuk mengevaluasi segala hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, baik yang disampaikan oleh redaksi media maupun artikel (atau komentar atau surat pembaca) yang berisikan opini pribadi dari masyarakat sendiri – atau berupa telepon dari pemirsa, talkshow atau acara bincang-bincang di televisi.
Semua itu diharapkan menjadi forum yang dapat mendorong masyarakat untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Dalam arti, forum tersebut mesti menyertakan ruang bagi kesepakatan, yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat, sebagai jalan keluar dari permasalahan yang berkembang. Forum ini, tentu saja, berlangsung berdasar penghargaan terhadap fakta, keadilan, dan tanggun jawab. Bukan berdasar hal-hal yang bisa menjual atau dijual, pelintiran informasi dari kepentingan pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara dengan cara manipulatif, atau berdasar siapa yang paling kuat dalam mempengaruhi media atau khalayak atau kecakapan retorik.
“Jurnalisme tidak saja memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan masyarakat, tetapi juga memberikan sebuah forum kepada masyarakat untuk membangun ikatan yang mengembangkan masyarakat,” nilai Kovach dan Rosenstiel .
Elemen ketujuh, jurnalisme harus dapat menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik. Elemen ini mewajibkan media untuk melaporkan berita dengan cara yang menyenangkan, mengasyikan, dan menyentuh sensasi masyarakat. Ditambah pula, yang dilaporkannya itu mesti merupakan sesuatu yang paling penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, berita itu harus bisa menarik dan berguna bagi masyarakat. Koran Daily News di New York, menurut Kovach dan Rosenstiel , bukan saja memiliki kemenarikan di dalam melaporkan olah raga, foto-foto yang enak dilihat, dan gosip-gosip yang tengah beredar, akan tetapi juga memiliki etos habis-habisan untuk melaporkan ketidakadilan dan kegagalan program pemerintah kepada masyarakat. Dengan kata lain, media harus mampu menggabungkan kemampuan mendongeng dengan memberi informasi kepada masyarakat.
Cara mendongeng jurnalisti memiliki tujuan. Tujuan utamanya ialah memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat tentang lingkungannya. Maka itulah, media menugaskan para awak redaksinya untuk mencari, menemukan, mencatat informasi yang benar-benar dibutuhkan masyarakat pada saat itu agar dapat mengembangkan kehidupan bermasyarakat dengan baik. Setelah itu, ialah melaporkannya menjadi materi informasi yang bermakna, relevan, dan menarik diikuti.
Karena itulah, tanggung jawab media bukan hanya memasok informasi kepada masyarakat, akan tetapi juga menyampaikannya dengan cara yang menarik. Pelaporan berita yang baik ialah hasil kemendalaman liputan yang padu dalam memberi rincian dan keterkaitannya dengan konteks tertentu.
Elemen kedelapan adalah kewajiban membuat berita secara komprehensif dan proporsional. Mutu jurnalisme amat tergantung kepada kelengkapan dan proporsionalitas pemberitaan yang dikerjakan media. Elemen ini mengingatkan media agar tidak jor-jor-an meliput sensasi acara pengadilan atau skandal selebritas secara jor-jor-an, berlebihan, hanya untuk tujuan menaikan rating, oplah, atau iklan. Apalagi, melaporkannya dengan tidak melakukan verifikasi, pengecekan silang, atau wawancara ke berbagai pihak terkait. Pemberitaan macam ini akan menyesatkan pembaca.
Di sisi lain, komprehensif dan proporsional juga berarti penyajian berita. Sebuah siaran berita yang hanya berisi kelucuan yang menarik juga harus dilengkapi dengan kandungan materi yang penting dan berguna. Demikian pun bagi berita yang serius dan teramat penting isinya hendaknya disertai dengan hal-hal yang ringan, human interest.
Media harus menghindari khalayaknya menjadi miskin informasi disebabkan isi pemberitaan yang tidak lengkap materinya dan menonjolkan sesuatu secara tidak proporsional. Hal ini merugikan masyarakat di dalam mengambil keputusan yang dibutuhkan pada saat itu.
Elemen ke sembilan ialah memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka. Ini terkait dengan sistem dan manajemen media yang memiliki keterbukaan. Keterbukaan ini berguna untuk mengatasi kesulitan dan tekanan wartawan dalam membuat berita secara akurat, adil, imbang, independen, berani, dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Media harus memberi ruang bagi wartawan untuk merasa bebas berpikir dan berpendapat.
Organisasi berita yang baik memberikan peluang bagi wartawan untuk menyatakan perbedaan sikap dan pendapat, melakukan penolakan terhadap redaktur, pemilik media, pemasang iklan, bahkan kekuatan tertentu di masyarakat – selama hal itu terkait dengan prinsip kejujuran dan akurasi yang dipegang oleh wartawan. Ini berarti mengembangkan budaya media yang melindungi tanggung jawab pribadi sebagai dasar kerja. “Memberikan peluang kepada orang-orang untuk menyuarakan nurani mereka dalam redaksi memang akan membuat pengelolaan media jadi makin menyulitkan. Namun, hal itu dapat membuat pemberitaan jadi semakin akurat,” nilai Kovach dan Rosenstiel.***