Di tepian Nieuwe Maas, Rotterdam
Roderick menemui Slavina selepas matahari tergelincir pukul tiga
sore. Cahayanya menyandari punggung gadis itu —membiaskan kemilau
kemerahan di rambutnya. Tapi kondisi Slavina membuat lelaki itu cemas.
Ia tegak di beranda, di sisi Slavina, menghadap ke sungai Nieuwe Maas
dalam kebisuan. Mereka ditikam canggung. Ah, bukan mereka, tapi cuma
Roderick saja. Untuk pertama kali, lelaki itu harus mengasihani dirinya.
Ia butuh penebusan atas kerumitan yang sedang terjadi.
“Aku datang, Slavina,” pelan lelaki itu berujar seraya meletakkan telapak tangannya di bahu Slavina, “aku datang, Sayang.”
Tetapi Slavina tak bergeming. Matanya lurus ke aliran air sungai
Nieuwe Maas yang mengalir pelan menuju delta Rotte dengan puluhan pintu
air di ujung Hoogstraat yang dibangun tahun 1260 itu. Slavina menggumam.
Gumaman yang datar kemudian lembut —seperti suara yang jatuh di tengah
musim dingin di akhir November.
Gumam yang membuat jantung Roderick seperti berhenti. Kini, ia tak
akan seyakin apa yang ia sangkakan sebelum meninggalkan Surabaya.
Keadaan ini ternyata tak akan baik-baik saja. Ini kekalahannya?
Kekalahan dari sesuatu yang diimpikan Slavina?
Juli 1825. Seperti ada kerudung yang menyelimuti wajah Slavina.
Seperti wajah yang diselimuti hamparan salju. Kemurungan yang datang
bergegas. Mata Slavina juga sedingin angin di bulan-bulan bersalju.
Hangatnya angin laut yang berhembus dari selatan seperti tak akan pernah
dirasakan gadis itu lagi.
“Bicaralah, Sayang.” Pinta Roderick. Ia ingin berharap agar gadis di
sisinya itu menusukkan rumpunan kata-kata menyakitkan tepat ke
jantungnya. “Katakanlah bahwa aku lelaki paling terkutuk di muka bumi.”
Suara lelaki itu nyaris meratap.
Di tepian Brantas, Surabaya
Srijanti duduk di beranda belakang rumahnya, memandangi aliran air
sungai Brantas yang tenang. Rintik kecil air hujan bentrok di
permukaannya. Mata gadis itu juga tiris. Semestinya, harmoni itu bisa
menenteramkan hatinya. Tetapi Srijanti sedang tak peduli.
Ini April yang gerimis dan waktu menggigil di aliran Brantas.
Kehangatan di dada mereka sudah pergi. Pinggiran pagar beranda di mana
Srijanti duduk, berderit menyedihkan. Tumit gadis itu sengaja
dibentur-benturkan ke kisi-kisi bercat hijau. Roderick bangkit dari
duduknya, pinggulnya kebas. Ia berjalan ke arah Srijanti dan menopangkan
tangannya di pinggiran pagar beranda.
Srijanti mendehem. “Kau jadi pulang ke Rotterdam?” Ia menyela suara
rerintik pada atap sirap. Setelah bergumul berhari-hari dengan
perasaannya, ia akhirnya bersedia menerima kedatangan Roderick.
Sepekan lalu, tersebar kabar rencana kepulangan Roderick ke Rotterdam. Hampir setiap
klerk
di kantor Keresidenan Surabaya itu menggunjingkan ihwal kepulangannya
yang tiba-tiba. Entah bagaimana ihwal itu pun bocor pada Srijanti. Ada
nama Slavina terselip di antara pembicaraan orang-orang sekantor.
Namun Roderick tak sedang mencemaskan gunjingan itu dan siapa orang
yang telah menyebarkannya. Saat ini, ada benda besar berkilat di
pangkuan Srijanti yang membuat lelaki itu harus bicara hati-hati. “Kau
bisa menahanku,” tukas Roderick segera. Lelaki itu menegakkan tubuhnya
dan memandang searah pandangan Srijanti, “aku akan tetap di sini jika
kau inginkan.”
“
Heh…” Srijanti tersenyum tipis. “Untuk apa?”
Pertanyaan pendek Srijanti membuat lelaki itu tertunduk lagi.
***
Entah kenapa ia menjadi canggung di depan Srijanti. Padahal, setahun
terakhir ini, mereka selalu lancar membincangkan banyak hal. Srijanti
selalu bisa memancingnya agar bercerita tentang kisah heroik di
Jardin des Plantes di istana Versailles, atau tentang gurihnya
Bottarga di sebuah motel kecil di Sardinia. Kadang Roderick pun sukar untuk tak memamerkan lezatnya
Cabernet Sauvignon yang diproses dari anggur-anggur bermutu di sepanjang
Ribera del Duero.
Srijanti lalu menimpalinya dengan puluhan pertanyaan saat Roderick
berkisah tentang bebungaan cantik yang mekar di perbukitan Savoy.
“Untuk cerita-cerita yang belum sempat aku kisahkan,” Roderick segera menjawab pertanyaan Srijanti tadi.
Situasi mereka saat ini tak seperti kata
Scherezade tentang
waktu yang menakjubkan, yang seharusnya dimiliki setiap pasangan kekasih
saat mereka memiliki kisah untuk diceritakan. Kisah yang layak mereka
pertukarkan.
Selalu ada kelirihan dalam suara Srijanti dan itu membuat darah
Roderick memompa dengan cepat. Lelaki itu belum pernah cemas luar biasa
sampai ketika ia mendapati Srijanti duduk sendirian dengan belati besar
di pangkuannya.
“Oh, semua itu tak penting lagi bagiku.”
“Tapi penting bagiku.” Roderick menggeleng, “aku hargai setiap waktu bersamamu.”
“Seperti
poppy yang menjadi benar hanya karena orang-orang menyukainya?” Srijanti lagi-lagi membuat Roderick didera rasa bersalah.
“Tidak seperti itu,” desis Roderick.
Srijanti memalingkan wajahnya. Matanya dipenuhi penyesalan. “Apakah
kau akan membenciku, jika aku menjadi penyebab hilangnya satu-satunya
harapanmu yang paling berharga, walau itu akan jadi sebab kehancuranku
sendiri?”
“Jangan, Sri…” Roderick menyentuh lengan gadis itu.
***
Srijanti bisa membuat Roderick kehilangan kata-kata. Setahun lalu,
betapa menyenangkan memulai pertemuan dengan gadis itu, saat Roderick
dihinggapi kebosanan di jamuan makan malam di kantor Keresidenan
Surabaya. Srijanti memperkenalkan diri dan segera membuat suasana beku
di hati lelaki itu menjadi cair. Lalu, pertemuan demi pertemuan membuat
Roderick bisa melepaskan diri dari himpitan jenuh akibat rutinitas
tugasnya.
Mereka punya banyak alasan untuk bertemu. Mengisi sore di taman kota
di depan kantor Keresidenan, atau duduk bertukar cerita di jamuan teh
sore. Srijanti merasa begitu romantis saat bersama Roderick bersampan
menyusuri sungai Brantas.
Srijanti menjadikan tiap pertemuan itu sebagai alasannya membangun
perasaan. Roderick luput menyadari dan mengira semua baik-baik saja.
“Kau lihat. Betapa jahatnya aku yang hendak merebut harapan perempuan lain.”
“Sri, hentikan..!”
“Oh, naifnya aku, Roderick.”
Mata Roderick mengatup. “Aku mohon, Sri…”
Wajah Srijanti kembali berpaling ke aliran Brantas. Lingkaran rintik
hujan kini merata di permukaan sungai itu. Roderick harus membayar
setiap jengkal kerumitan ini. Kecemasan kian mencengkeram hatinya
setelah Srijanti menuntaskan rajukannya.
“Aku tak pernah menduga kita akan berada di posisi ini.”
Ucapan Roderick itu membuat mata Srijanti berkaca-kaca. Baginya,
lelaki itu seketika berubah menjadi sosok yang asing. “Kau bahkan tak
bisa meyakinkan dirimu sendiri,” pungkas Srijanti.
Wajah Roderick panas. Kata-kata Srijanti begitu keras menamparnya.
Di geladak de Luijpaert, Samudera Pasifik
Angin lemah dari buritan membuat
de Luijpaert bergerak
lamban. Roderick menantikan hari saat kapal ini merapat di dermaga
Rotterdam. Tiga bulan perjalanan yang membosankan. Masih tersisa dua
pekan lagi baginya merasakan siksaan mabuk laut. Sedikit sekali waktunya
untuk membaca, dan masih banyak buku yang sepertinya tak akan terbuka.
Ia telah menerima semua perasaan Srijanti. Bagi Roderick, kini
tersisa sebuah permintaan lain yang harus ia penuhi. Sekujur tubuhnya
tiba-tiba ngilu dan kepahitan mendera batinnya, saat ia mendapati
wajahnya di pupil mata Srijanti yang membesar.
Roderick nyaris tak pernah berada di geladak
de Luijpaert.
Sempat ia singkirkan setiap kecemasannya pada kondisi Slavina. Tetapi,
seperti hari-hari yang harus dilalui seorang penyihir tua, seperti
itulah perasaan terkutuk yang membalun di dadanya.
Pada detik terakhir setelah meriam kecil
de Luijpaert
dibunyikan untuk menandai keberangkatannya, entah dari mana datangnya
keputusan yang kini membuatnya tegak di geladak kapal terakhir yang
meninggalkan Surabaya di akhir musim pelayaran tahun 1825.
Menuju Rotterdam, bagi Roderick, adalah harapan untuk menyelesaikan
sebuah kerumitan lagi, setelah ia gagal menuntaskan kerumitan yang lain.
Di geladak
de Luijpaert, lelaki itu membayangkan senyum di
wajah Slavina. Ini perjalanan penebusan seorang lelaki pemimpi yang
dungu. Ia kini merasa seperti Pandora yang tergila-gila pada kotak yang
menyimpan semua kutukannya sendiri.
Mata lelaki itu adalah Pandora
“Sayang, aku di sini sekarang. Aku menepati janjiku.” Roderick ingin
agar Slavina menyahutinya. Warna tembaga di ufuk membias di aliran
Nieuwe Maas.
Slavina hanya menatap nanar pada lelaki yang sangat ia harapkan
kehadirannya itu. Segaris senyum tipis menghiasi sudut bibir gadis itu
saat Roderick mendatanginya selepas turun dari
de Luijpaert.
Roderick hendak mendahului waktu yang sudah koyak dan hanya akan
menemukan Slavina yang terbebas dari kerinduan yang meremas hatinya.
Tetapi, Roderick hanya menemukan gadis yang duduk diam di kursi yang
disiapkan untuknya di beranda ini. Slavina duduk berselimut, dalam
pelukan lumen lembut cahaya mentari sore.
Langit sore belum sempurna merah tembaga saat Roderick mendekati
punggung Slavina di beranda itu. Air mata lelaki itu tumpah, saat
menyadari nasibnya yang buruk: Slavina bahkan tak mengenali wajahnya
lagi.
Wajah yang dipinta Slavina lima tahun lalu dan di tiga bulan terakhir ini.
Roderick memejamkan mata, merasa begitu terkutuk, saat ia mendengar
Slavina terus mengumamkan kata-kata yang sama. “Aku siap, Sayang. Aku
siap untuk hari ini.”
Gumaman yang terus ia ulangi, sampai kepalanya terkulai.
Roderick melihat kehancuran berderap mendatanginya. Wajah pias
Slavina tertutupi rambutnya yang kemerahan. Gadis itu pergi begitu saja,
tanpa benar-benar menyadari kehadiran Roderick. Seperti saat Roderick
menemukan pantulan wajahnya di pupil mata Srijanti, ia juga menemukan
wajahnya di pupil mata Slavina.
“Cinta yang menghidupkan itu, nyatanya telah membunuhku,” Roderick
terngiang ucapan Srijanti sebelum gadis itu mengiris pipa nadinya dengan
belati besar di pangkuannya. Betapa Roderick menyadari, matanya telah
menjadi Pandora: kotak yang berhasil menampung semua kemalangan. (*)
Molenvliet, Juni 2014