⁠⁠⁠

Wednesday, 21 January 2015

KAPAL TERAKHIR



Kapal Terakhir ilustrasi BagusDi tepian Nieuwe Maas, Rotterdam
Roderick menemui Slavina selepas matahari tergelincir pukul tiga sore. Cahayanya menyandari punggung gadis itu —membiaskan kemilau kemerahan di rambutnya. Tapi kondisi Slavina membuat lelaki itu cemas. Ia tegak di beranda, di sisi Slavina, menghadap ke sungai Nieuwe Maas dalam kebisuan. Mereka ditikam canggung. Ah, bukan mereka, tapi cuma Roderick saja. Untuk pertama kali, lelaki itu harus mengasihani dirinya. Ia butuh penebusan atas kerumitan yang sedang terjadi.
“Aku datang, Slavina,” pelan lelaki itu berujar seraya meletakkan telapak tangannya di bahu Slavina, “aku datang, Sayang.”
Tetapi Slavina tak bergeming. Matanya lurus ke aliran air sungai Nieuwe Maas yang mengalir pelan menuju delta Rotte dengan puluhan pintu air di ujung Hoogstraat yang dibangun tahun 1260 itu. Slavina menggumam. Gumaman yang datar kemudian lembut —seperti suara yang jatuh di tengah musim dingin di akhir November.
Gumam yang membuat jantung Roderick seperti berhenti. Kini, ia tak akan seyakin apa yang ia sangkakan sebelum meninggalkan Surabaya. Keadaan ini ternyata tak akan baik-baik saja. Ini kekalahannya? Kekalahan dari sesuatu yang diimpikan Slavina?
Juli 1825. Seperti ada kerudung yang menyelimuti wajah Slavina. Seperti wajah yang diselimuti hamparan salju. Kemurungan yang datang bergegas. Mata Slavina juga sedingin angin di bulan-bulan bersalju. Hangatnya angin laut yang berhembus dari selatan seperti tak akan pernah dirasakan gadis itu lagi.
“Bicaralah, Sayang.” Pinta Roderick. Ia ingin berharap agar gadis di sisinya itu menusukkan rumpunan kata-kata menyakitkan tepat ke jantungnya. “Katakanlah bahwa aku lelaki paling terkutuk di muka bumi.”
Suara lelaki itu nyaris meratap.

Di tepian Brantas, Surabaya
Srijanti duduk di beranda belakang rumahnya, memandangi aliran air sungai Brantas yang tenang. Rintik kecil air hujan bentrok di permukaannya. Mata gadis itu juga tiris. Semestinya, harmoni itu bisa menenteramkan hatinya. Tetapi Srijanti sedang tak peduli.
Ini April yang gerimis dan waktu menggigil di aliran Brantas. Kehangatan di dada mereka sudah pergi. Pinggiran pagar beranda di mana Srijanti duduk, berderit menyedihkan. Tumit gadis itu sengaja dibentur-benturkan ke kisi-kisi bercat hijau. Roderick bangkit dari duduknya, pinggulnya kebas. Ia berjalan ke arah Srijanti dan menopangkan tangannya di pinggiran pagar beranda.
Srijanti mendehem. “Kau jadi pulang ke Rotterdam?” Ia menyela suara rerintik pada atap sirap. Setelah bergumul berhari-hari dengan perasaannya, ia akhirnya bersedia menerima kedatangan Roderick.
Sepekan lalu, tersebar kabar rencana kepulangan Roderick ke Rotterdam. Hampir setiap klerk di kantor Keresidenan Surabaya itu menggunjingkan ihwal kepulangannya yang tiba-tiba. Entah bagaimana ihwal itu pun bocor pada Srijanti. Ada nama Slavina terselip di antara pembicaraan orang-orang sekantor.
Namun Roderick tak sedang mencemaskan gunjingan itu dan siapa orang yang telah menyebarkannya. Saat ini, ada benda besar berkilat di pangkuan Srijanti yang membuat lelaki itu harus bicara hati-hati. “Kau bisa menahanku,” tukas Roderick segera. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan memandang searah pandangan Srijanti, “aku akan tetap di sini jika kau inginkan.”
Heh…” Srijanti tersenyum tipis. “Untuk apa?”
Pertanyaan pendek Srijanti membuat lelaki itu tertunduk lagi.
***
Entah kenapa ia menjadi canggung di depan Srijanti. Padahal, setahun terakhir ini, mereka selalu lancar membincangkan banyak hal. Srijanti selalu bisa memancingnya agar bercerita tentang kisah heroik di Jardin des Plantes di istana Versailles, atau tentang gurihnya Bottarga di sebuah motel kecil di Sardinia. Kadang Roderick pun sukar untuk tak memamerkan lezatnya Cabernet Sauvignon yang diproses dari anggur-anggur bermutu di sepanjang Ribera del Duero. Srijanti lalu menimpalinya dengan puluhan pertanyaan saat Roderick berkisah tentang bebungaan cantik yang mekar di perbukitan Savoy.
“Untuk cerita-cerita yang belum sempat aku kisahkan,” Roderick segera menjawab pertanyaan Srijanti tadi.
Situasi mereka saat ini tak seperti kata Scherezade tentang waktu yang menakjubkan, yang seharusnya dimiliki setiap pasangan kekasih saat mereka memiliki kisah untuk diceritakan. Kisah yang layak mereka pertukarkan.
Selalu ada kelirihan dalam suara Srijanti dan itu membuat darah Roderick memompa dengan cepat. Lelaki itu belum pernah cemas luar biasa sampai ketika ia mendapati Srijanti duduk sendirian dengan belati besar di pangkuannya.
“Oh, semua itu tak penting lagi bagiku.”
“Tapi penting bagiku.” Roderick menggeleng, “aku hargai setiap waktu bersamamu.”
“Seperti poppy yang menjadi benar hanya karena orang-orang menyukainya?” Srijanti lagi-lagi membuat Roderick didera rasa bersalah.
“Tidak seperti itu,” desis Roderick.
Srijanti memalingkan wajahnya. Matanya dipenuhi penyesalan. “Apakah kau akan membenciku, jika aku menjadi penyebab hilangnya satu-satunya harapanmu yang paling berharga, walau itu akan jadi sebab kehancuranku sendiri?”
“Jangan, Sri…” Roderick menyentuh lengan gadis itu.
***
Srijanti bisa membuat Roderick kehilangan kata-kata. Setahun lalu, betapa menyenangkan memulai pertemuan dengan gadis itu, saat Roderick dihinggapi kebosanan di jamuan makan malam di kantor Keresidenan Surabaya. Srijanti memperkenalkan diri dan segera membuat suasana beku di hati lelaki itu menjadi cair. Lalu, pertemuan demi pertemuan membuat Roderick bisa melepaskan diri dari himpitan jenuh akibat rutinitas tugasnya.
Mereka punya banyak alasan untuk bertemu. Mengisi sore di taman kota di depan kantor Keresidenan, atau duduk bertukar cerita di jamuan teh sore. Srijanti merasa begitu romantis saat bersama Roderick bersampan menyusuri sungai Brantas.
Srijanti menjadikan tiap pertemuan itu sebagai alasannya membangun perasaan. Roderick luput menyadari dan mengira semua baik-baik saja.
“Kau lihat. Betapa jahatnya aku yang hendak merebut harapan perempuan lain.”
“Sri, hentikan..!”
“Oh, naifnya aku, Roderick.”
Mata Roderick mengatup. “Aku mohon, Sri…”
Wajah Srijanti kembali berpaling ke aliran Brantas. Lingkaran rintik hujan kini merata di permukaan sungai itu. Roderick harus membayar setiap jengkal kerumitan ini. Kecemasan kian mencengkeram hatinya setelah Srijanti menuntaskan rajukannya.
“Aku tak pernah menduga kita akan berada di posisi ini.”
Ucapan Roderick itu membuat mata Srijanti berkaca-kaca. Baginya, lelaki itu seketika berubah menjadi sosok yang asing. “Kau bahkan tak bisa meyakinkan dirimu sendiri,” pungkas Srijanti.
Wajah Roderick panas. Kata-kata Srijanti begitu keras menamparnya.

Di geladak de Luijpaert, Samudera Pasifik
Angin lemah dari buritan membuat de Luijpaert bergerak lamban. Roderick menantikan hari saat kapal ini merapat di dermaga Rotterdam. Tiga bulan perjalanan yang membosankan. Masih tersisa dua pekan lagi baginya merasakan siksaan mabuk laut. Sedikit sekali waktunya untuk membaca, dan masih banyak buku yang sepertinya tak akan terbuka.
Ia telah menerima semua perasaan Srijanti. Bagi Roderick, kini tersisa sebuah permintaan lain yang harus ia penuhi. Sekujur tubuhnya tiba-tiba ngilu dan kepahitan mendera batinnya, saat ia mendapati wajahnya di pupil mata Srijanti yang membesar.
Roderick nyaris tak pernah berada di geladak de Luijpaert. Sempat ia singkirkan setiap kecemasannya pada kondisi Slavina. Tetapi, seperti hari-hari yang harus dilalui seorang penyihir tua, seperti itulah perasaan terkutuk yang membalun di dadanya.
Pada detik terakhir setelah meriam kecil de Luijpaert dibunyikan untuk menandai keberangkatannya, entah dari mana datangnya keputusan yang kini membuatnya tegak di geladak kapal terakhir yang meninggalkan Surabaya di akhir musim pelayaran tahun 1825.
Menuju Rotterdam, bagi Roderick, adalah harapan untuk menyelesaikan sebuah kerumitan lagi, setelah ia gagal menuntaskan kerumitan yang lain.
Di geladak de Luijpaert, lelaki itu membayangkan senyum di wajah Slavina. Ini perjalanan penebusan seorang lelaki pemimpi yang dungu. Ia kini merasa seperti Pandora yang tergila-gila pada kotak yang menyimpan semua kutukannya sendiri.

Mata lelaki itu adalah Pandora
“Sayang, aku di sini sekarang. Aku menepati janjiku.” Roderick ingin agar Slavina menyahutinya. Warna tembaga di ufuk membias di aliran Nieuwe Maas.
Slavina hanya menatap nanar pada lelaki yang sangat ia harapkan kehadirannya itu. Segaris senyum tipis menghiasi sudut bibir gadis itu saat Roderick mendatanginya selepas turun dari de Luijpaert.
Roderick hendak mendahului waktu yang sudah koyak dan hanya akan menemukan Slavina yang terbebas dari kerinduan yang meremas hatinya. Tetapi, Roderick hanya menemukan gadis yang duduk diam di kursi yang disiapkan untuknya di beranda ini. Slavina duduk berselimut, dalam pelukan lumen lembut cahaya mentari sore.
Langit sore belum sempurna merah tembaga saat Roderick mendekati punggung Slavina di beranda itu. Air mata lelaki itu tumpah, saat menyadari nasibnya yang buruk: Slavina bahkan tak mengenali wajahnya lagi.
Wajah yang dipinta Slavina lima tahun lalu dan di tiga bulan terakhir ini.
Roderick memejamkan mata, merasa begitu terkutuk, saat ia mendengar Slavina terus mengumamkan kata-kata yang sama. “Aku siap, Sayang. Aku siap untuk hari ini.”
Gumaman yang terus ia ulangi, sampai kepalanya terkulai.
Roderick melihat kehancuran berderap mendatanginya. Wajah pias Slavina tertutupi rambutnya yang kemerahan. Gadis itu pergi begitu saja, tanpa benar-benar menyadari kehadiran Roderick. Seperti saat Roderick menemukan pantulan wajahnya di pupil mata Srijanti, ia juga menemukan wajahnya di pupil mata Slavina.
“Cinta yang menghidupkan itu, nyatanya telah membunuhku,” Roderick terngiang ucapan Srijanti sebelum gadis itu mengiris pipa nadinya dengan belati besar di pangkuannya. Betapa Roderick menyadari, matanya telah menjadi Pandora: kotak yang berhasil menampung semua kemalangan. (*)


Molenvliet, Juni 2014


ISIKAN JAWABAN KALIAN DI SINI

0 comments:

 
Design by Awalludin Ma'ruf | Published by Template Dyto Share.us | Download Film Terbaru
Sisi Remaja Ebook Teknisi Komputer