⁠⁠⁠

Wednesday, 28 January 2015

PENGUMUMAN NILAI ANALISIS CERPEN (VII A)


Friday, 23 January 2015

PENGUMUMAN NILAI ANALISIS CERPEN (VII B)

PENGUMPULANNAMANILAI
1/20/2015 11:59:57Meidi Wulan Sari80
1/20/2015 11:57:30Zidna N.L90
1/20/2015 12:02:58Fitri Alviana Khotijah95
1/20/2015 12:05:21Wafik Nurul Khoiriyah90
1/20/2015 12:06:48ELIZA DEVI KHARISMA MH85
1/20/2015 12:10:11Hawin Lathi Fatus Tsaniyah80
1/20/2015 12:57:47Diyah Rahayu Ningtyas85
1/20/2015 15:38:53Ika Santi K.100
1/23/2015 11:35:59Anggi Junita Dwi Lestari85

Wednesday, 21 January 2015

KAPAL TERAKHIR



Kapal Terakhir ilustrasi BagusDi tepian Nieuwe Maas, Rotterdam
Roderick menemui Slavina selepas matahari tergelincir pukul tiga sore. Cahayanya menyandari punggung gadis itu —membiaskan kemilau kemerahan di rambutnya. Tapi kondisi Slavina membuat lelaki itu cemas. Ia tegak di beranda, di sisi Slavina, menghadap ke sungai Nieuwe Maas dalam kebisuan. Mereka ditikam canggung. Ah, bukan mereka, tapi cuma Roderick saja. Untuk pertama kali, lelaki itu harus mengasihani dirinya. Ia butuh penebusan atas kerumitan yang sedang terjadi.
“Aku datang, Slavina,” pelan lelaki itu berujar seraya meletakkan telapak tangannya di bahu Slavina, “aku datang, Sayang.”
Tetapi Slavina tak bergeming. Matanya lurus ke aliran air sungai Nieuwe Maas yang mengalir pelan menuju delta Rotte dengan puluhan pintu air di ujung Hoogstraat yang dibangun tahun 1260 itu. Slavina menggumam. Gumaman yang datar kemudian lembut —seperti suara yang jatuh di tengah musim dingin di akhir November.
Gumam yang membuat jantung Roderick seperti berhenti. Kini, ia tak akan seyakin apa yang ia sangkakan sebelum meninggalkan Surabaya. Keadaan ini ternyata tak akan baik-baik saja. Ini kekalahannya? Kekalahan dari sesuatu yang diimpikan Slavina?
Juli 1825. Seperti ada kerudung yang menyelimuti wajah Slavina. Seperti wajah yang diselimuti hamparan salju. Kemurungan yang datang bergegas. Mata Slavina juga sedingin angin di bulan-bulan bersalju. Hangatnya angin laut yang berhembus dari selatan seperti tak akan pernah dirasakan gadis itu lagi.
“Bicaralah, Sayang.” Pinta Roderick. Ia ingin berharap agar gadis di sisinya itu menusukkan rumpunan kata-kata menyakitkan tepat ke jantungnya. “Katakanlah bahwa aku lelaki paling terkutuk di muka bumi.”
Suara lelaki itu nyaris meratap.

Di tepian Brantas, Surabaya
Srijanti duduk di beranda belakang rumahnya, memandangi aliran air sungai Brantas yang tenang. Rintik kecil air hujan bentrok di permukaannya. Mata gadis itu juga tiris. Semestinya, harmoni itu bisa menenteramkan hatinya. Tetapi Srijanti sedang tak peduli.
Ini April yang gerimis dan waktu menggigil di aliran Brantas. Kehangatan di dada mereka sudah pergi. Pinggiran pagar beranda di mana Srijanti duduk, berderit menyedihkan. Tumit gadis itu sengaja dibentur-benturkan ke kisi-kisi bercat hijau. Roderick bangkit dari duduknya, pinggulnya kebas. Ia berjalan ke arah Srijanti dan menopangkan tangannya di pinggiran pagar beranda.
Srijanti mendehem. “Kau jadi pulang ke Rotterdam?” Ia menyela suara rerintik pada atap sirap. Setelah bergumul berhari-hari dengan perasaannya, ia akhirnya bersedia menerima kedatangan Roderick.
Sepekan lalu, tersebar kabar rencana kepulangan Roderick ke Rotterdam. Hampir setiap klerk di kantor Keresidenan Surabaya itu menggunjingkan ihwal kepulangannya yang tiba-tiba. Entah bagaimana ihwal itu pun bocor pada Srijanti. Ada nama Slavina terselip di antara pembicaraan orang-orang sekantor.
Namun Roderick tak sedang mencemaskan gunjingan itu dan siapa orang yang telah menyebarkannya. Saat ini, ada benda besar berkilat di pangkuan Srijanti yang membuat lelaki itu harus bicara hati-hati. “Kau bisa menahanku,” tukas Roderick segera. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan memandang searah pandangan Srijanti, “aku akan tetap di sini jika kau inginkan.”
Heh…” Srijanti tersenyum tipis. “Untuk apa?”
Pertanyaan pendek Srijanti membuat lelaki itu tertunduk lagi.
***
Entah kenapa ia menjadi canggung di depan Srijanti. Padahal, setahun terakhir ini, mereka selalu lancar membincangkan banyak hal. Srijanti selalu bisa memancingnya agar bercerita tentang kisah heroik di Jardin des Plantes di istana Versailles, atau tentang gurihnya Bottarga di sebuah motel kecil di Sardinia. Kadang Roderick pun sukar untuk tak memamerkan lezatnya Cabernet Sauvignon yang diproses dari anggur-anggur bermutu di sepanjang Ribera del Duero. Srijanti lalu menimpalinya dengan puluhan pertanyaan saat Roderick berkisah tentang bebungaan cantik yang mekar di perbukitan Savoy.
“Untuk cerita-cerita yang belum sempat aku kisahkan,” Roderick segera menjawab pertanyaan Srijanti tadi.
Situasi mereka saat ini tak seperti kata Scherezade tentang waktu yang menakjubkan, yang seharusnya dimiliki setiap pasangan kekasih saat mereka memiliki kisah untuk diceritakan. Kisah yang layak mereka pertukarkan.
Selalu ada kelirihan dalam suara Srijanti dan itu membuat darah Roderick memompa dengan cepat. Lelaki itu belum pernah cemas luar biasa sampai ketika ia mendapati Srijanti duduk sendirian dengan belati besar di pangkuannya.
“Oh, semua itu tak penting lagi bagiku.”
“Tapi penting bagiku.” Roderick menggeleng, “aku hargai setiap waktu bersamamu.”
“Seperti poppy yang menjadi benar hanya karena orang-orang menyukainya?” Srijanti lagi-lagi membuat Roderick didera rasa bersalah.
“Tidak seperti itu,” desis Roderick.
Srijanti memalingkan wajahnya. Matanya dipenuhi penyesalan. “Apakah kau akan membenciku, jika aku menjadi penyebab hilangnya satu-satunya harapanmu yang paling berharga, walau itu akan jadi sebab kehancuranku sendiri?”
“Jangan, Sri…” Roderick menyentuh lengan gadis itu.
***
Srijanti bisa membuat Roderick kehilangan kata-kata. Setahun lalu, betapa menyenangkan memulai pertemuan dengan gadis itu, saat Roderick dihinggapi kebosanan di jamuan makan malam di kantor Keresidenan Surabaya. Srijanti memperkenalkan diri dan segera membuat suasana beku di hati lelaki itu menjadi cair. Lalu, pertemuan demi pertemuan membuat Roderick bisa melepaskan diri dari himpitan jenuh akibat rutinitas tugasnya.
Mereka punya banyak alasan untuk bertemu. Mengisi sore di taman kota di depan kantor Keresidenan, atau duduk bertukar cerita di jamuan teh sore. Srijanti merasa begitu romantis saat bersama Roderick bersampan menyusuri sungai Brantas.
Srijanti menjadikan tiap pertemuan itu sebagai alasannya membangun perasaan. Roderick luput menyadari dan mengira semua baik-baik saja.
“Kau lihat. Betapa jahatnya aku yang hendak merebut harapan perempuan lain.”
“Sri, hentikan..!”
“Oh, naifnya aku, Roderick.”
Mata Roderick mengatup. “Aku mohon, Sri…”
Wajah Srijanti kembali berpaling ke aliran Brantas. Lingkaran rintik hujan kini merata di permukaan sungai itu. Roderick harus membayar setiap jengkal kerumitan ini. Kecemasan kian mencengkeram hatinya setelah Srijanti menuntaskan rajukannya.
“Aku tak pernah menduga kita akan berada di posisi ini.”
Ucapan Roderick itu membuat mata Srijanti berkaca-kaca. Baginya, lelaki itu seketika berubah menjadi sosok yang asing. “Kau bahkan tak bisa meyakinkan dirimu sendiri,” pungkas Srijanti.
Wajah Roderick panas. Kata-kata Srijanti begitu keras menamparnya.

Di geladak de Luijpaert, Samudera Pasifik
Angin lemah dari buritan membuat de Luijpaert bergerak lamban. Roderick menantikan hari saat kapal ini merapat di dermaga Rotterdam. Tiga bulan perjalanan yang membosankan. Masih tersisa dua pekan lagi baginya merasakan siksaan mabuk laut. Sedikit sekali waktunya untuk membaca, dan masih banyak buku yang sepertinya tak akan terbuka.
Ia telah menerima semua perasaan Srijanti. Bagi Roderick, kini tersisa sebuah permintaan lain yang harus ia penuhi. Sekujur tubuhnya tiba-tiba ngilu dan kepahitan mendera batinnya, saat ia mendapati wajahnya di pupil mata Srijanti yang membesar.
Roderick nyaris tak pernah berada di geladak de Luijpaert. Sempat ia singkirkan setiap kecemasannya pada kondisi Slavina. Tetapi, seperti hari-hari yang harus dilalui seorang penyihir tua, seperti itulah perasaan terkutuk yang membalun di dadanya.
Pada detik terakhir setelah meriam kecil de Luijpaert dibunyikan untuk menandai keberangkatannya, entah dari mana datangnya keputusan yang kini membuatnya tegak di geladak kapal terakhir yang meninggalkan Surabaya di akhir musim pelayaran tahun 1825.
Menuju Rotterdam, bagi Roderick, adalah harapan untuk menyelesaikan sebuah kerumitan lagi, setelah ia gagal menuntaskan kerumitan yang lain.
Di geladak de Luijpaert, lelaki itu membayangkan senyum di wajah Slavina. Ini perjalanan penebusan seorang lelaki pemimpi yang dungu. Ia kini merasa seperti Pandora yang tergila-gila pada kotak yang menyimpan semua kutukannya sendiri.

Mata lelaki itu adalah Pandora
“Sayang, aku di sini sekarang. Aku menepati janjiku.” Roderick ingin agar Slavina menyahutinya. Warna tembaga di ufuk membias di aliran Nieuwe Maas.
Slavina hanya menatap nanar pada lelaki yang sangat ia harapkan kehadirannya itu. Segaris senyum tipis menghiasi sudut bibir gadis itu saat Roderick mendatanginya selepas turun dari de Luijpaert.
Roderick hendak mendahului waktu yang sudah koyak dan hanya akan menemukan Slavina yang terbebas dari kerinduan yang meremas hatinya. Tetapi, Roderick hanya menemukan gadis yang duduk diam di kursi yang disiapkan untuknya di beranda ini. Slavina duduk berselimut, dalam pelukan lumen lembut cahaya mentari sore.
Langit sore belum sempurna merah tembaga saat Roderick mendekati punggung Slavina di beranda itu. Air mata lelaki itu tumpah, saat menyadari nasibnya yang buruk: Slavina bahkan tak mengenali wajahnya lagi.
Wajah yang dipinta Slavina lima tahun lalu dan di tiga bulan terakhir ini.
Roderick memejamkan mata, merasa begitu terkutuk, saat ia mendengar Slavina terus mengumamkan kata-kata yang sama. “Aku siap, Sayang. Aku siap untuk hari ini.”
Gumaman yang terus ia ulangi, sampai kepalanya terkulai.
Roderick melihat kehancuran berderap mendatanginya. Wajah pias Slavina tertutupi rambutnya yang kemerahan. Gadis itu pergi begitu saja, tanpa benar-benar menyadari kehadiran Roderick. Seperti saat Roderick menemukan pantulan wajahnya di pupil mata Srijanti, ia juga menemukan wajahnya di pupil mata Slavina.
“Cinta yang menghidupkan itu, nyatanya telah membunuhku,” Roderick terngiang ucapan Srijanti sebelum gadis itu mengiris pipa nadinya dengan belati besar di pangkuannya. Betapa Roderick menyadari, matanya telah menjadi Pandora: kotak yang berhasil menampung semua kemalangan. (*)


Molenvliet, Juni 2014


ISIKAN JAWABAN KALIAN DI SINI

Monday, 19 January 2015

SERAGAM

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/12/seragam/#more-1627

ISIKAN JAWABAN KALIAN DI SINI

DUA WAJAH IBU

DUA WAJAH IBU
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.


Sumber:  https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/#more-1623

ISIKAN JAWABAN KALIAN DI SINI

 
Design by Awalludin Ma'ruf | Published by Template Dyto Share.us | Download Film Terbaru
Sisi Remaja Ebook Teknisi Komputer